Seputarkito.com

JAKARTA – Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Megawati Soekarnoputri, tak kuasa menahan haru saat menyampaikan terima kasih atas pencabutan TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967, yang menghapus keputusan pencabutan kekuasaan Presiden Sukarno.

Pencabutan tersebut menjadi langkah penting dalam memulihkan nama Bung Karno, yang selama ini tercoreng oleh tuduhan yang tak terbukti.

Dalam pidato politiknya di acara peringatan hari ulang tahun (HUT) ke-52 PDIP di Sekolah Partai, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, pada Jumat, 10 Januari 2025, Megawati mengungkapkan rasa terima kasihnya tidak hanya kepada MPR, namun juga kepada Presiden Prabowo Subianto.

“Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Presiden Prabowo Subianto yang telah merespons pimpinan MPR terkait tindak lanjut pemulihan nama baik dan hak-hak Bung Karno sebagai Presiden RI pertama,” ujarnya sambil terisak.

Megawati mengungkapkan bahwa peringatan HUT ke-52 PDIP kali ini sangat istimewa karena bersamaan dengan pencabutan TAP MPRS tersebut, yang telah menunda pemulihan nama dan sejarah Bung Karno selama lebih dari 57 tahun.

“Setelah 57 tahun, akhirnya nama dan sejarah Bung Karno dipulihkan,” katanya.

MPR dalam keputusan terbarunya menegaskan bahwa tuduhan terhadap Bung Karno terkait peristiwa G30S PKI tidak pernah terbukti dan batal demi hukum.

“Tidak pernah ada proses hukum apapun yang dilaksanakan untuk membuktikan tuduhan tersebut hingga Bung Karno wafat pada 21 Juni 1970,” kata Megawati.

Sebagai bentuk penghargaan atas keputusan ini, Megawati, atas nama pribadi, keluarga, dan partai, mengucapkan terima kasih yang mendalam.

Ia juga menegaskan bahwa jika sebuah kesalahan terjadi, maka kesalahan tersebut harus diakui.

“Kalau memang salah, harus salah. Ini namanya politisasi. Saya atas nama pribadi, keluarga Bung Karno, dan juga keluarga besar PDIP mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pimpinan dan anggota MPR periode 2019-2024,” tambahnya.

Pemulihan Nama Bung Karno: Sejarah yang Tertunda

Diketahui, pada 9 September 2024, MPR Indonesia secara resmi mencabut TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967, yang berisi pencabutan kekuasaan Presiden Soekarno, yang menyatakan bahwa Sukarno mendukung dan melindungi para pelaku Gerakan 30 September (G30S).

MPR, melalui Ketua MPR Bambang Soesatyo, menyatakan bahwa dokumen tersebut tidak berlaku sejak 2003.

Keputusan tersebut merespons surat dari Menteri Hukum dan HAM mengenai tindak lanjut pemulihan nama baik Soekarno.

Bambang Soesatyo menambahkan bahwa meski secara yuridis TAP tersebut sudah tidak berlaku, penyerahan dokumen itu kepada keluarga Presiden Soekarno secara simbolis diperlukan untuk menyelesaikan persoalan psikologis dan politis yang ada.

Guntur Soekarnoputra, putra sulung Soekarno, mengungkapkan bahwa keluarga telah menunggu lebih dari 57 tahun untuk keadilan bagi ayahnya.

“Tuduhan keji yang tidak pernah dibuktikan melalui proses peradilan telah memberikan luka yang sangat mendalam bagi keluarga besar kami maupun rakyat Indonesia yang patriotik dan nasionalis,” ujarnya.

Menanggapi hal tersebut, sejarawan Asvi Warman Adam menyebutkan bahwa pemberian gelar pahlawan kepada Soekarno bersama Muhammad Hatta pada 2012 sudah menjadi langkah awal dalam pemulihan nama baik Soekarno.

Namun, ia menilai apa yang dilakukan MPR sekarang lebih kepada penegasan ulang daripada pencabutan.

“Menurut saya, istilah yang tepat bukan mencabut, tetapi menegaskan kembali,” jelasnya.

Harapan untuk Generasi Muda

Selain itu, menurut sejarawan Bonnie Triyana, banyak masyarakat yang belum mengetahui bahwa TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 sudah tidak berlaku sejak 2003.

Ia berharap pemulihan nama baik Bung Karno dapat memberikan dorongan bagi generasi muda, khususnya milenial dan Gen Z, untuk lebih berani menggali sejarah Indonesia yang penuh kontroversi.

“Saya pikir momentumnya sekarang tepat, di saat kita semua sudah bisa mulai merefleksikan masalah ini. Bukan hanya masyarakat, tetapi juga elit,” ujarnya.

Pemulihan nama Bung Karno ini menjadi simbol dari pentingnya menghadapi dan merefleksikan kembali sejarah masa lalu yang penuh dengan dinamika politik, sekaligus memberikan penghargaan yang layak kepada sosok yang telah berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. (***).

Jurnalindependen.com – Seorang siswa kelas IV Sekolah Dasar (SD) Yayasan Abdi Sukma di Kota Medan, Sumatera Utara yang berinisial MI, menjadi sorotan publik setelah video yang memperlihatkan dirinya dihukum duduk di lantai selama proses belajar mengajar viral di media sosial.

Hukuman ini diberikan oleh guru kelas karena MI belum membayar tunggakan sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) selama tiga bulan.

Ibu dari MI, AM, mengungkapkan bahwa anaknya telah dihukum selama dua hari, yakni pada tanggal 6 dan 7 Januari 2025.

Dalam rentang waktu tersebut, MI duduk di lantai dari pukul 08.00 WIB hingga 13.00 WIB.

“Anaknya disuruh duduk di lantai selama jam pelajaran, tanpa diberikan kesempatan mengikuti pelajaran di kursi seperti teman-temannya,” kata AM kepada media saat ditemui pada Jumat, 10 Januari 2025.

Ia juga menyebutkan bahwa wali kelas memberikan peraturan bahwa siswa yang belum mengambil rapor tidak diperkenankan mengikuti kegiatan belajar mengajar.

Kejadian tersebut mencuat saat seorang ibu melihat anaknya sedang duduk di lantai saat proses belajar mengajar.

“Begini loh, Bu, dia ini disoraki dari tadi di luar saya datang. Buk ambil rapor, Mesia duduk di bawah, dia nangis loh buk,” kata AM dalam video viral yang beredar.

AM mengaku sangat terkejut mendengar bahwa anaknya telah dihukum sejak 6 Januari 2025 dan merasa sedih melihat anaknya yang menangis akibat malu dihukum di depan teman-temannya.

“Dia nangis mau pergi sekolah, dia bilang Mamak MI malu duduk di bawah. Dia sempat nggak mau sekolah karena malu,” ujar AM.

Awalnya, AM tidak mengetahui bahwa anaknya dihukum. Ia pun mendatangi sekolah dan sangat terkejut melihat kondisi anaknya yang duduk di lantai saat mengikuti pelajaran.

“Pada tanggal 8 Januari 2025 pagi, anak saya nggak mau sekolah karena dia malu. Saya juga baru tahu kalau dia sudah tiga hari dihukum duduk di lantai,” ungkap AM.

AM juga menjelaskan bahwa dirinya belum mampu membayar tunggakan SPP anaknya karena keterbatasan finansial.

AM menderita penyakit yang memerlukan operasi dan belum bisa bekerja, sementara suaminya pun belum pulang.

“Saya belum bisa bayar uang sekolah anak saya yang tertunggak karena kondisi ekonomi kami, ditambah suami saya belum pulang,” ujarnya.

AM menegaskan bahwa ia tidak mempermasalahkan hukuman bagi anaknya jika terkait dengan tugas sekolah yang belum diselesaikan.

Namun, ia meminta agar sang guru tidak mempermalukan anaknya di depan teman-temannya hanya karena masalah tunggakan SPP.

“Kalau anak saya nggak ngerjakan PR, saya nggak marah kalau dia dihukum, bahkan disuruh keluar ngutip sampah. Tapi kalau hanya karena belum bayar SPP, dia harus duduk di lantai, itu nggak bisa diterima,” kata AM dalam videonya.

Tanggapan Kepala Sekolah tentang Hukuman di Lantai

Menanggapi insiden tersebut, Kepala Sekolah SD Swasta Abdi Sukma, Juli Sari, memberikan klarifikasi.

Ia menyatakan bahwa pihak sekolah tidak memiliki aturan yang melarang siswa yang belum membayar SPP untuk mengikuti pembelajaran.

Juli menjelaskan bahwa tindakan guru tersebut merupakan kebijakan pribadi wali kelas, Hariyati, yang tidak berkoordinasi dengan pihak sekolah.

“Sebenarnya anak itu tidak menerima rapor karena belum melunasi SPP. Tapi itu bukan masalah besar,” jelas Juli.

“Wali kelasnya membuat aturan sendiri bahwa siswa yang belum mengambil rapor tidak boleh ikut pelajaran, tanpa berbicara terlebih dahulu dengan pihak sekolah,” tambahnya.

Juli mengakui bahwa insiden ini terjadi akibat miskomunikasi antara pihak sekolah, wali kelas, dan orang tua siswa.

Ia pun menyampaikan permohonan maaf kepada keluarga MI.

“Saya sudah memohon maaf kepada orang tua MI dan masalah ini sudah selesai,” ujar Juli.

Dikatakan pula bahwa MI kini sudah kembali bersekolah setelah SPP-nya dibayarkan oleh sejumlah relawan.

“Beberapa relawan sudah membantu keluarga MI untuk membayar uang sekolah dan MI sekarang sudah bisa kembali belajar,” tambahnya.

Bantuan dari Gerindra untuk Siswa yang Dihukum

Terkait dengan insiden tersebut, Wakil DPRD Sumatera Utara, Ihwan Ritonga, bersama pihak Gerindra, memberikan bantuan untuk memastikan pendidikan MI tidak terhambat.

“Kami mendapat instruksi dari Pak Presiden Prabowo Subianto, untuk hadir di tengah masyarakat dan memberikan bantuan apabila ada masalah,” kata Ihwan Ritonga saat berkunjung ke rumah MI pada 10 Januari 2025.

Ihwan menjelaskan bahwa pihaknya menyerahkan sepenuhnya keputusan kepada AM, ibu MI, apakah anaknya ingin tetap bersekolah di SD tersebut atau pindah ke sekolah lain.

“Kami serahkan keputusan kepada ibu MI, apakah anaknya ingin melanjutkan di sekolah ini atau mencari sekolah lain untuk memulihkan psikologis anak,” ujarnya.

AM mengungkapkan bahwa anaknya memiliki tunggakan SPP selama tiga bulan dengan total biaya Rp180.000, yang sebagian besar disebabkan oleh belum cairnya dana Program Indonesia Pintar (PIP) pada akhir 2024.

AM juga menceritakan bahwa anaknya sempat tidak diperbolehkan mengikuti ujian akhir semester saat duduk di kelas III SD, namun setelah meminta kompensasi pembayaran, anaknya diizinkan mengikuti ujian meski tidak mendapatkan rapor.

AM berencana menebus tunggakan SPP pada 8 Januari 2025, dengan menjual handphone untuk tambahan dana.

Namun sebelum itu, ia mendengar cerita anaknya yang malu dihukum duduk di lantai selama dua hari. (*)

Tidak Ada Postingan Lagi.

Tidak ada lagi halaman untuk dimuat.